Cerpen Khajeya

Friday, July 08, 2005

Kau kekasih terbaik yang pernah kumiliki

Lalu aku tersadar, setelah tertidur dalam waktu panjang
Aku sepi…
Sejak dulu aku sendiri, tapi baru kali ini aku merasa sepi
Dan malam ini aku teringat pada semua
Cinta, amarah, egoisme…
Lalu terpusat pada seorang putri
Tangannya belum pernah kusentuh
Menatap, sesekali…
Dan lebih banyak diam.
Aku begitu menghormatinya, mencintainya
Aku tidak bodoh! Dan aku pria normal
Inginku mengecup keningnya, membelai rambut panjangnya…
Mendekap dan mendamaikannya
Berbisik lembut, bercerita tentang segala…
Namun aku terlalu mencintainya…

Inginku membanggakan kau kepada dunia…
Kau, ya, kau…
Kau perempuan tertegar yang pernah ku kenal…
Bahkan disaat tersakiti sekalipun…
Dan kau tak pernah malu menertawakan kulit hitamku…
Dan, kau terlalu lugu untuk berbohong
Kau takkan sanggup melupakanku…
Kau takkan sanggup tidak memaafkan aku…
Dan kau kekasih terbaik yang pernah kumiliki…

Khajeya
Untuk Dhillah,
Kemarin, hari ini, dan nanti…

By: Jerry Wijaya, http://www.jerrywijaya.com

Kau seorang pria biasa dengan cinta yang tak biasa!

Kau egois sekali!
Semalam kau tak datang tanpa bilang
Dan kau biarkan aku menunggu dan terlalu
Aku menjadi kesepian
Dan sedih kembali kau tak penuhi janji
Kau tak pernah mengerti aku
Aku yang kau anggap tegar, sebenarnya rapuh
Dan aku lemah
Aku tak punya cukup tenaga untuk mengerakkan ke-32 otot wajah ini
Lalu aku tersenyum, dan kau pun tersenyum
Kau tak pernah merasa bersalah rupanya?
Dan semalam lagi-lagi kau tak tepati janji
Membiarkan aku sendiri dan sepi
Sesaat aku menjadi benci
Namun, dalam kesendirian semalam, aku kembali merasakannya
Rasa sepi tanpa kau
Dan kembali kusadari, betapa berartinya kau dalam hidupku
Kesepian semalam menyadarkan aku kembali akan artimu
Dan kembali aku takkan dapat menggerakan ke-32 otot wajah ini
Dan kau pasti lagi-lagi tidak akan merasa bersalah
Dan pagi tadi kau mengetuk keras jendela kamarku
Satu hal yang hampir tidak pernah kau lakukan
Mengapa? Kau takut pada ayahku karena menggangguku sepagi ini?
Tapi aku tak pernah tak senang mendengar lirihmu memanggilku
Dan sesaat setelah jendela aku buka, aku mendengar kau berkata maaf
Aku tak mempercayainya, mungkinkah itu kau, atau aku yang mengigau
Lalu kau berikan bunga, dan lagi-lagi bunga itu, melati!
Tak adakah bunga yang lebih baik darinya yang harus kau berikan padaku sepagi ini?
Tapi tetap saja hal itu cukup membuatku bahagia, lalu tersenyum
Lalu kau pergi begitu saja, lari
Dan aku lagi-lagi sendiri sepagi ini
Ah, tapi tetap saja aku tak bisa tidak membanggakanmu
Kau seorang pria biasa dengan cinta yang tak biasa!

Untuk Khajeya dan cinta sepagi ini selamanya

Dhillah

Kekasihku Tak Lagi Setia

Kekasihku tak lagi setia seperti sedia kala
Wajahnya tak lagi lucu ketiak bertemu
Matanya tak lagi sayu saat ku cumbu
Berat badannya tak lagi dijaga

Kekasihku tak lagi setia seperti dulu
Saat kogoda, ia tak lagi terlena
Saat gelap ia tak lagi mesra
Dan tak ada lagi kata-kata rindu

Rasanya, harus kusudahi kisah ini
Kisah aku dan dia yang tak lagi bernyawa
Harus ku akhiri semua kebodohan ini
Dan melupakan sekeranjang kedustaan...
Lalu, saat segalanya telah lebih baik, aku akan kembali
Kembali mengejar hasrat yang tertunda

Kekasihku pasti akan tersipu malu
Dan sama sekali tak tersendu
Kekasihku pasti diam-diam bahagia, tanpa duka...
Saat esok pagi ketika terbangun, ku tak lagi di sisinya
Saat esok malam ketika mendengkur, ku tak lagi memeluknya...

Ah, kekasihku tak lagi setia...

Khajeya

Kuingat Padamu

Kuingat padamu bila fajar
memerahkan langi sebelah timur
Kuingat padamu bila senja
mencium bunga yang akan tidur
Kuingat padamu bila malam
sepi berbunga bintang bercahaya
Kuingat padamu bila kumenatap bulan
teduh benderang purnama raya
Kuingat padamu yang berwajah tampan
dan dirikupun ingin berjumpa sayang

Dhillah

Menjadi Dewasa Itu Menyakitkan

Menjalani hidup ternyata tak semudah yang kupikirkan saat kecil dulu
Ceria yang selalu dari sesosok aku 10 tahun lalu pudar sudah
Dan menghilang entah kemana
Berubah menjadi galau, pesimis dan kusut...

Dulu, tangisku adalah juga bahagiaku
24 jam kulalui tanpa duka, dan terasa lama
Kini waktu seperti hembusan angin
Berlalu, dan yang kurasa hanya lelah
Tidurku tak lagi nyenyak
Mimpi-mimpi penuh dengan aneka kontaminasi

Saat aku meulai mencoba merengek pada ibuku yang semakin tua
Beliau hanya tersenyum seraya berkata, "Itulah Dewasa"

Ah, aku rindu pada saat dimana ku tak peduli pada berapa banyak uang di sakuku
Aku rindu pada saat dimana ku berkhayal tanpa harus menatap jam dinding
Aku rindu pada saat dimana aku tak takut untuk berbagi cinta dengan tulus
Akupun rindu pada saat dimana aku hanya dapat berhitung sampai sepuluh

Kini cita-citaku tak lagi banyak dan tinggi
Tidurku hanya untuk melepas lelah
Senyumku hanya untuk melepas penat
Hari-hari menjadi semakin padat oleh aneka pikiran yang kian sempit
Aku yang sekarang menyesal dengan keadaan
Aku merasa menjadi seorang penyemburu, melancholish, egois, pamrih...

Dulu aku menangis saat ayah memarahiku, kini aku menangis oleh amarahku sendiri
Dan aku mulai berpikir, menjadi dewasa itu menyakitkan...

khajeya

Pelacur Kaki Lima

Hai... Kau ada dimana?
Dengan berjalan kaki sejak tadi kutelusuri trotoar
Namun kau tak muncul

Aku butuh kau malam ini!

Dan seperti malam-malam yang terlalu
Cukuplah kau sebagai pemuas nafsu

Hai, kau ada dimana?
Tahukan kau, aku rindu desah godamu?
Aku merindukan senyum dan kerling nakalmu
Leok anggun pinggul dan lututmu...
Dan semua yang dapat kubeli dengan hanya beberapa lembar ribuan

Datanglah padaku, aku mohon...
Maka kupastikan, seluruh uang di dompetku akan berpindah ke sakumu
- Uang yang hanya cukup untuk satu kali makan
Biar kupulang merakak, asal kau lemaskan lututku...

Jalang!
Kau ada dimana?!
Pelacur lain terlalu mahal untukku bayar

Shit! Shit! Shit!
Rok mini murahanmu pun tak tampak!
Atau kau tengah sibuk berjuang bertahan hidup?

khajeya

Untuk Gadis Berjubah Jingga

Maafkan aku, wahai gadis berjubah jingga
Aku tahu kau begitu tulus dalam cinta

Kau unik dan berbeda
Terimakasih kau mau memberiku cinta,

Tapi maafkan jika aku terpaksa harus menolaknya
Kau harus tahu, aku tak mampu membalas pemberian tulusmu

Tapi, bukan aku tak memiliki cinta yang kau minta
Hanya saja, ada hal lain yang membuatku terpaksa menahan cinta itu

Aku tahu kau terluka

Dan tadi malam kau menangis
Tapi, aku semalampun aku menangis

Seorang pria menangis?!
Itulah aku…

Aku kehilangan cintaku
Padahal aku ingat benar, beberapa tahun lalu aku menyimpannya tepat
dilaci meja itu

Aku kunci erat!
Ah, memang salahku yang tak pernah menyentuhnya lagi setelah itu

Tapi, siapa yang mengambil cinta dari laciku?

Atau siapa yang telah memindahkannya?
Dimana ia sekarang?

Dan sejak kapan cinta meninggalkan laci itu?
Seingatku, tak pernah lagi kulihat cinta itu ada bersama orang lain setelah ku kurung ia

Tak pernah ku llihat ia berada di belahan jiwa manapun

Lantas siapa yang telah mencurinya?
Dan kapan aku bisa kembali menemukan cinta itu?

Wahai gadis berjubah jingga, kini kau tahu
Aku terlalu pelik dengan nasibku

Dan rasanya tak pernah tega aku berbagi perih denganmu

Mungkin kau akan rela, tapi aku tidak!
Mana mungkin ku biarkan kita hidup bersama tanpa cinta

Aku harus mencari cinta itu dulu!
Beri aku waktu, dan berjalanlah bersamaku mencari cinta itu

Kelak jika aku menemukannya ada bersamamu, kupastikan cinta itu akan
kuberikan untukmu

khajeya

Puisi haiku

Hening diri memutar sesuatu didiriku pada masa lalu
Memperkosa jari-jari tanganku untuk beraiku
Ada yang menjadi beku didiriku
Aku menjadi seseorang yang melancholish

Hantu, hantu ...
Datanglah padaku
Mengapa kalian hanya datang bertiga ?

Kegelapan dimensi entah keberapa hadir
indera-inderaku pun gelagapan

Bambu ...
Kucoba memasuki lubangnya
memasung diriku sendiri
Ah, dasar bambu lemah, kau pecah !

Makhluk aneh yang telah lama tak kujumpa kini hadir dipelupuk mata
Sentuhi tepat didadaku
Aku kan tidak mengundangmu !
Enyah !

Seseorang gadis dengan sebuah nama hanya melintas saja
Mengganggu aku yang sedang semedi digua hirarki
Kesaktianku lenyap, ego membara ...
Dan lagi-lagi haiku tak hanya sebatas bait syair dari gerak jari
Tapi juga adalah hidupku sendiri
Ya, paling tidak hidupku hari ini

Khajeya

Ketika terbawa lupa

Ketika terbawa lupa
Aku menganga
Kau semakin gencar bertanya
Aku semakin menganga

Ketika terbawa bingung
Aku tetap menganga
Dahimu berkerut
Tolong, jangan buat aku takut
Tak perlu pakai kecut
hanya membuat hatiku terpicut

Kamu ... Ya, kamu ...
Bukan dia, bukan mereka, bukan siapa-siapa
Jangan kecut !
Cantikmu hilang, lembut hatimu kabur entah kemana ...
Tapi terserah kamulah ...
Wajah dan hati itu kau yang punya
Lagipula kini ku sudah tak suka
Untuk apa aku bertahan pada kecewa
Dihatimu, aku tak lagi percaya
Ya sudahlah, aku pergi saja

Diperlakukan seperti ini, aku sudah biasa
Tapi kali ini jangan harap ada kata sampai jumpa
Selamat berbahagia

Khajeya

Hari ini aku kembali terbangun

Hari ini aku kembali terbangun
Dan seperti biasa disiang hari
Dunia telah ramai, entah sejak kapan
Aku tak peduli

Kembali harus kumulai hari

Kutatap apa saja yang bisa kutatap
Selama tidak bayar, aku tetap menatap
Tapi aku tak bisa selamanya hanya menatap, rupanya ...
Perutku menuntut untuk diisi
Diisi entah ole apa

Tapi tetap saja kuhanya bisa menatap
Karena tak ada yang bisa kumakan saat ini

Semalam pun demikian
Aku tertidur dalam keadaan lapar

Seperti itu ...
Itu saja ...

Khajeya

Tak dapat kuberi judul

Dimusim dingin, aku hanya dapat berlindung dibalik dedahanan,
Air mata yang jatuh tak juga dapat mencairkan salju dibawaku,
Tuan, datangkanlah sinar yang dapat menghangatkan tubuhku,
Dan mencairkan salju-salju disekelilingku.

Tuhan, aku melihat sinar dijauh disana,
Kuyakin sinar itu perlahan-lahan kan menghampiriku
dan menghangatkanku
Dan kudapat terbang kembali, bermain bersama teman-temanku,
Bebas mengepakkan sayap dan berayun-ayun diatas dahan,
bernyanyi ceria,

Tuhan, kulihat cahaya itu semakin mendekat,
Tapi kumerasa sangat dingin ?

Terimakasih, Tuhan, kini cahaya itu berada tepat diatasku,
Dan kumerasakan hangat, dinginku lenyap seketika,
Tetapi ... kemana salju yang berada dibawahku
kemana dahan yang sedang kupijak, Tuhan


Khajeya

Kukira ia Dhillah

Sebuah pesawat canggih melintas diantariksa,
jauh dari bumi tempat manusia berkumpul

Aku berada diantaranya

Riuh bocah bumi senandungkan lagu tempe bongkrek
Dan rangkaian kalimat-kalimatku mulai sulit dimengerti

Lalu datang pesawat singgah
Kukira adalah dhillah
Kuhentakkan kakiku hingga bergetar seluruh nadi
Belum sempat senyum tersembul, kutersadarkan dari mimpi

Ya, mimpi indah antariksa buyar seketika
Beralih kemimpi buruk dunia fana yang memang nestapa

Kusalah duga
Kukira dia Dhillah

Dan kini, antariksa nyata telah kembali berada dikelopak mata

Khajeya

Ternyata aku hanya seonggok sampah

Aku buka tong sampah !
... Tapi ..., aku ... adalah ... isi dari tong sampah tersebut
Aku terbuang
Sebuah mimpi buruk yang menjadi realita
Tak ada yang mau mendengarku
Mereka berkata kalimat-kalimatku sulit untuk dimengerti
Padaal aku butuh orang yang mau mengerti aku

Ya, disaat sekarang, disaat aku sendiri tidak mengerti pada diriku
Tapi mereka malah menjauh
Dan menghempasku
Aku sampah
Kini aku hanya seonggok sampah

Aku sampah

Sampah ...

Sampah ...

Sampah ...

Diperlakukan seperti ini, aku sudah biasa
Tapi kali ini jangan harap ada kata sampai jumpa
Selamat berbahagia !!!

Khajeya

Purnama dan bulan

Kepada purnama malam ini aku berkata-kata
Bercerita tentang hidupku ari ini
Purnama tetap diam, tak berkomentar
Tapi, aku tau, ia tak mungkin mengianati kepercayaanku
Ia takkan pernah bercerita kepada siapapun lagi

Ya, kepada sang dewi malam itu aku banyak berkisah
Bercerita tentang masa lalu dan ari ini,
Tentang harapan, tentang siang dan malam, pagi, sore
Segala tentang hidup

Purnama kian bercahaya disaat aku bercahaya disaat aku bercerita baagia
Purnama redup disaat aku kisahkan duka
Tak ada rangkaian kata yang keluar darinya
Bahkan sepatah katapun
Tapi kutahu ia mengerti semua itu
Ia mengerti aku

Kepada malam aku berterimakasih
Berterimakasih telah menghadirkan purnama untukku
Tempat aku curahkan segala rasa
Ya, malam ... malam yang hitam ... gelap ...
Disaat banyak orang berkata malam begitu seram dan menjijikan
Tidak ! Malam hanyalah sekedar satu sisi gelap dari dunia ini
Malam adalah ketenangan dan kebahagiaan
Malam adalah inspirasi
Banyak keajaiban yang ada disana
Dan purnama adalah satu keajaiban yang diberikannya
Kepadaku ... Juga kepada siapa saja yang mengerti purnama
Purnama, maafkan aku telah menjadikanmu tong sampah
Tempat kubuang segala cerita, kisahkan tentang hidup
Dan aku baagia, karena kau tetap mau datang kepadaku malam
Dan, bagaimanapun kau tetap purnama

Khajeya

Aku Benci Kamu

Aku Benci Kamu

Jam kuliahku begitu padat! Gerah aku dengan semua ini. Praktikum, tugas, quiz, seakan tiada akhir… Ah, begitu penat hidupku hari ini, dan selalu begitu.

Dengan 5 buku tebal didalam tas punggungku, terasa langkah kaki ini semakin berat. Asap polusi seakan membuatku ingin berteriak namun sesak. Ribuan pasang kaki yang melangkah disekelilingku terasa berbeda dari biasanya. Aku sedikit mengeluh melihat langit yang mulai mendung sore ini sambil mempercepat langkahku. Tas punggungku terasa semakin berat dengan buku-buku itu didalamnya.

Sial! Akhirnya aku kalah juga dengan waktu. Hujan turun. Orang-orang disekelilingku berlarian mencari tempat berteduh, atau sedikit menghindar dari guyuran hujan sore ini.

Ditengah keramaian manusia, tiba-tiba aku melihat sebuah wajah yang pernah sangat kukenal. Aku mengernyitkan dahiku. Dhillah! Aku masih mengingat nama dari pemilik wajah itu. Langkah kaki yang hendak berlari ini menjadi kaku. Dalam guyuran air hujan aku terpaku menatap wajah itu, lalu tak lama wajah itupun lenyap dalam keramaian manusia yang saling berlari menghindari deras air hujan.

Aku tetap terpaku seorang diri ditengah hujan. Tak peduli seluruh pakaian, bahkan buku-buku dalam tasku menjadi basah. Yang kurasakan hanyalah sakit, ya, sakit. Begitu tersayatnya hati ini! Tubuhku seperti beku dalam terpaan hujan.

Betapa kecewanya aku sore ini. Usaha yang sangat lama dan begitu sulit untuk melupakannya menjadi sia-sia. Ya, hanya karena meihat wajah yang hanya selintas saja!

Dhillah, betapa teganya kau menyakiti hati kembali! Lebih sakit dari sebelumnya! Lama aku berjuang hanya untuk membuang ingatan dalam diriku akan dirimu… Tapi, dengan begitu mudahnya engkau mengembalikan segalanya, menarik kembali semua ingatan yang telah lama kubuang!

Dengan sulit aku melupakanmu, bahkan hampir tak mampu! Dengan sangat sulit kurobek semuanya tentangmu, kuhancurkan hingga berkeping-keping, lalu kubiang tanpa sisa ke deras air sungai, hingga terus terbawa ke laut lepas dan terapung-apung diatasnya, hingga tiada lagi seorangpun yang menemukannya.

Sial! Setelah bertahun-tahun, rupanya matahari telah menguapkan air laut, dan kau terbawa bersama uap itu hingga mengapung dan membeku diatas langit dalam wujud awan mendung… Dan, kini awan mendung itu telah membasahi seluruh tubuhku, dan kau lagi-lagi hadir dihadapanku…!

Sementara hujan telah reda, langit kembali cerah, orang-orang kembali dengan tenang berlalu lalang, dan kau telah lenyap ditelan keramaian, aku masih terpaku dengan pakaian yang basah dan dengan semua ingatan yang kembali. Teganya kau! Aku benci kamu!

(Khajeya)

MELATI TAK HARUS PUTIH

MELATI TAK HARUS PUTIH

Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring. Dhillah berjalan terburu-buru, bahkan hampir berlari. Wajahnya penuh dengan amarah dan kekecewaan. “Dhillah! Dhillah! Tunggu…!” teriakan Jeje seolah tak didengarnya. Dhillah terus melaju tanpa menoleh. “Dhillah! Tunggu dulu! Ada apa ini?!” tiba-tiba langkah Dhillah tertahan oleh sepasang tangan yang memegang erat pundaknya.

“Sudahlah! Tidak ada lagi yang harus dijelaskan. Dan tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan!” kata-kata itu mengalir lancar dari lidah Dhillah sambil menatap Jeje penuh kebencian.

“Ta.. tapi… ada apa ini?!” Jeje mengerutkan dahinya.

“Tolong jangan lagi mengganggu aku! Sejak saat ini kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi! Dan itu pilihan kamu! Selamat tinggal!” seluncuran kata kembali terucap oleh Dhillah sebagai jawaban atas pertanyaan Jeje. Lalu ia pergi dengan cepat meninggalkan Jeje yang berdiri kaku penuh kebingungan.

“Dhillah..! Dhillah..!” kembali Jeje memanggil Dhillah yang terus menjauh dan menjauh, namun Dhillah tetap berlalu.

***

“Kring.. Kring..” dering telepon berbunyi nyaring. Dhillah mengangkat telepon itu dengan penuh enggan.

“Haloo… Dhillah?” suara lirih diujung telepon sana ketika telepon diangkat. Dhillah diam tak menjawab suara itu. “Dhillah.. Please.. Kita harus bicara…”

“Tut... Tut… Tut…” tiba-tiba telepon terputus. Jeje yang berada disudut telepon sana mencoba kembali menghubungi telepon Dhillah, namun tak ada lagi yang mengangkatnya. Beberapa kali dicobanya, hasilnya tetap nihil.

***

Bel istirahat berbunyi lantang, membuat suasana sekolah menjadi ramai seketika. Jeje mencoba menghampiri dan menyapa Dhillah. Namun seperti orang yang belum mengenal, Dhillah tidak menanggapi sapaan Jeje. Ia begitu beku. Sementara Jeje hanya dapat berdiri kaku. Sampai seluruh jam pelajaran hari itu habis dan seluruh sekolah telah sepi, Jeje terus termenung disudut kelas, sementara Dhillah tetap beku dan tak tahu tengah berada dimana.

***

“Haloo..” ucap Dhillah menganggkat teleponnya.

“Dhillah, please.. Kita harus bicara…”

“Tut... Tut... Tut…” Dhillah langsung menutup teleponnya.

“Haloo..” ucap Dhillah kembali mengangkat gagang teleponnya ketika teleponnya kembali berbunyi.

“Dhillah… Please, hentikan semua ini… Aku…”, tiba-tiba telepon kembali terputus.

Telepon kembali berbunyi, Dhillah kembali mengangkat teleponnya. Belum sempat terucap kata halo, suara diujung telepon sana telah mendahului, “Dhillah, baiklah, aku minta maaf jika aku bersalah, tapi…”, lagi-lagi telepon ditutup oleh Dhillah.

“Kring.. Kring.. Kring…”, suara telepon menggema ke seluruh sudut rumah Dhillah, namun tak juga diangkatnya, dan deringan-deringan selanjutnya tak lagi terdengar seiring dengan diputusnya kabel telepon oleh Dhillah.

***

Tiga hari berlalu, Dhillah tetap beku dan seolah tak mau lagi mengenal seseorang yang bernama Jeje. Ia terus menghindar dari Jeje, bahkan walau Jeje telah berusaha mendekatinya sekalipun. Jeje tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia terus termenung memikirkan Dhillah. “Dhillah.. Ada apa sebenarnya ini?” lirih Jeje dalam hati sambil duduk sendiri di satu sudut sekolahnya.

Lalu mata Jeje menatap tajam pada sekumpulan bunga-bunga mekar dihalaman sekolah. Ia melirik ke segala arah, tak ada penjaga kebun, tak ada guru… “Ahh, aman..” ucap Jeje sendiri, lalu memetik sebuah bunga melati dan membawanya kebelakang sekolah. Dirobeknya secarik kertas dari buku tulisnya, lalu ia menulisinya, dan menempelkanya pada tangkai melati itu.

Diakhir jam sekolah, Jeje berlari cepat mengejar Dhillah, lalu berdiri dihadapannya. Kedua tangan Jeje menghalangi Dhillah yang mencoba untuk terus menghindar.

“Dhillah! Dhillah! Baik jika memang itu yang kamu mau. Tapi aku mohon untuk yang terakhir kalinya, terimalah bunga ini, maka aku berjanji takkan mengganggu hidupmu lagi!” ucap Jeje sambil menatap tajam mata Dhillah. Dhillah membalas menatap Jeje dengan tak kalah tajam, namun mulutnya tetap bungkam seolah bisu. Jeje kemudian menarik tangan kanan Dhillah, digenggamkannya sepucuk melati itu ke tangan Dhillah, lalu Jeje berlalu pergi meninggalkan Dhillah yang masih berdiri kaku di tempatnya setelah dihadang Jeje sebelumnya.

Dhillah menatap tajam melati yang tengah digenggamnya itu, lalu membuka secarik kertas yang menempel pada tangkai bunga itu. Dalam kertas itu tertulis :

Dhillah, sepucuk melati ini untukmu. Lihatlah melati ini. Melati ini penuh dengan noda dan bercak hitam karena asap knalpot. Begitu juga dengan cinta. Jika ada cinta yang bersih tanpa noda, itu bukan cinta, tapi kepalsuan. Cinta penuh dengan halang dan rintang, yang jika kita mampu menghadapinya, itulah kesejatian cinta.

Jeje

Dhillah membaca tulisan itu, kemudian menggenggam erat sepucuk melati yang memang tengah digenggamnya. Sementara Jeje telah menghilang dari pandangan, pulang ke rumah dengan penuh kekecewaan dan kehampaan.

KESURUPAN

KESURUPAN
“Tipis! Tipis sekali bedanya!” gumam Ajey ditengah lamunannya. Matanya menatap kosong kearah langit-langit kamarnya. Sondi mengerutkan dahinya mendengar gumaman Ajey. “Batas baik dan buruk pun tipis sekali!” lanjut Ajey lagi.
“Tipis? Beda? Apa yang tipis, Jey?” heran Sondi.
“Lihat saja! Antara cinta dan nafsu saat ini sulit untuk dibedakan!”
“Memang kenapa gitu?” Sondi kembali bertanya, sesaat Ajey tak menjawab, Sondipun tak berkata-kata lagi, sementara pandangan Ajey tetap tak berubah, ia terus menatap langit-langit kamarnya.
“Garis pemisah antara baik dan buruk sulit dibaca! Orang berbuat baik, malah dikatakan jahat! Orang berbuat buruk, malah dibilang hak asasi!”
“Loe ngomongin apa sih, Jey?” Sondi kembali bertanya.
“Ini bukan demokrasi! Ini dekadensi!” Ajey menghentakkan telapak tangannya ke lantai. Sesaat Sondi terkejut.
“Demokrasi? Dekadensi? Loe ngomongin apaan sih?”
“Pornografi, erotisme, malah dibilang seni!”
“Pornografi? Erotisme?” Sondi semakin heran.
“Bahkan disana, di warnet-warnet, kebaikan dan keburukan hanya dipisahkan oleh sebuah sentuhan halus yang berbunyi ‘klik’, maka batas-batas pemisah itu akan hancur!”
“Jey?! Loe kenapa? Kesurupan ya???” Sondi menghentakkan tangannya ke pundak Ajey. Kali ini Ajey menoleh ke arah Sondi.
“Orang berkata benar malah dibilang kesurupan! Dunia ini sudah aneh!” ucap Ajey.
“Yee… Loe yang aneh!” balas Sondi.
“Loe yang nggak mikir!” balas Ajey lagi.
“Gua nggak ngerti…” ucap Sondi polos.
“Nggak cuma loe, ribuan bahkan jutaan orang diluar sana juga nggak ngerti! Bahkan nggak mau ngerti!”
“Wah! Parah loe, Jey. Istigfar, Jey… Istigfar!” ucap Sondi.
“Loe tetap juga nggak ngerti!” lirih Ajey.
“Sebentar ya, Jey. Gua panggil temen-temen buat nolongin loe… Istigfar Jey, ya” ucap Sondi sembari pergi keluar dari kamar dan meninggalkan Ajey sendiri.
“Silakan panggil semua orang, biar semua dengar!” ucap Ajey dengan nada lebih tinggi.
“Wah! Gawat ini!” lirih Sondi sambil terus berlalu dan akhirnya tak terlihat lagi, terhalang oleh dinding kamar.
Tak lama kemudian, terdengar suara Sondi berteriak, “Woi…!!! Temen-temen… Kesini…! Tolongin gua, si Ajey kesurupan…!!!” (Khajeya)

Jika Cinta Tak Mampu Menghentikan Badai

Jika Cinta Tak Mampu Menghentikan Badai

Siang kota Bogor hari itu begitu cerah. Udara terasa lebih sejuk dari biasanya dengan sinar matahari yang sekedar menerangi. Lalu lalang manusia di sepanjang trotoar tak kalah ramai dengan mobil-mobil yang berhamburan di badan jalan aspal. Rupanya suasana yang sedikit berbeda ini tak ingin dilewati begitu saja, dengan ceria mereka menikmati hari. Orang-orang terlihat lebih bersemangat hari itu.

Begitu pula dengan seorang gadis ayu di sebrang jalan sana. Dengan tas di pundak kirinya dan beberapa buku dalam pangkuan tangannya, gadis itu berdiri tenang menanti mobil jemputannya untuk menuju pulang. Angin sepoi-sepoi yang menerpa rambutnya membuat ia tampil lebih anggun. Wajah ayunya terus tertepa udara sejuk hari itu. Dan tetap bertahan anggun hingga seluruh kawan-kawan sekampusnya pergi meninggalkannya seorang diri.

Hari semakin sore, pelataran kampus sudah mulai sepi. Orang-orang yang berlalu lalangpun mulai surut. Entah untuk yang keberapa kali gadis itu menatap jam di pergelangan tangannya sambil sesekali memainkan ponselnya. Wajahnya mulai tampak gusar ketika matahari mulai memerah. Lalu tampak tangannya mulai melambai pada kendaraan-kendaraan umum, namun tak satu pun yang berhenti. Hampir setiap kendaraan yang melalui jalan itu selalu penuh jika hari mulai menuju malam minggu. Ia tampak semakin kesal saja.

Hari benar-benar telah senja. Lampu-lampu di sepanjang sisi jalan telah menyala. Gadis itu tetap saja tak mendapat tumpangan pulang. Sesaat ia menarik nafas lega ketika sebuah kendaraan umum berhenti menyambut lambaian tangannya, namun tiba-tiba tersentak terkejut mendengar sebuah klakson panjang dari sebuah sedan hitam di ujung jalan. Ia hafal betul mobil itu. Dengan tersenyum ia berucap, “Maaf, Mang, tidak jadi, mobil jemputan saya sudah datang.” Senyumannya dibalas kecut oleh supir kendaraan umum tersebut, dan sambil membanting setirnya, mobil itu kembali melaju di jalan raya.

Dalam hitungan detik, mobil yang dinantinya sudah berada di hadapannya. Tapi, tak seperti biasa, mobil itu hanya berhenti saja. Tak ada sopir yang keluar untuk membukakan pintu pada majikannya itu. Dengan sedikit kesal, gadis itu membuka sendiri pintu depan mobil itu, lalu masuk ke dalamnya tanpa menoleh sedikitpun pada sang sopir. Rupanya gadis itu mulai kesal. Namun, tetap saja jiwanya yang ramah tetap terpancar dengan terbungkamnya mulut sang gadis itu dari sebuah omelan pun. Bahkan ia tetap memilih duduk di depan bersama sang supir, tanda ia sangat menghargai sopirnya itu, tak seperti banyak orang yang enggan duduk bersama sopirnya.

Belum sempat ia menikmati duduknya, tiba-tiba ia harus dikejutkan lagi oleh laju kendaraannya sang sangat mendadak. Sesaat gadis itu berteriak terkejut, namun tersendak melihat wajah orang yang memegang kendali mobilnya.

“Hei! Siapa kamu?! Kemana mang Udin?! Hei! Hentikan mobil ini! Hentikan!”, teriak gadis itu, namun tak dipedulikan oleh pemuda yang mengemudikan mobil itu, malah kecepatan mobil itu semakin ditambah. “Hei, cukup! Hentikan! Hentikan mobil ini! Hentikan!”, teriak kembali gadis itu yang tetap tak dipedulikan oleh pemuda yang memegang setir di sampingnya. Mobil itu terus melaju pada kecepatan tinggi melintasi jalan kota. Lalu tiba-tiba berhenti disebuah taman kota. Tanpa menoleh pada gadis di sebelahnya, ia menghentikan mobil itu begitu saja, lalu terdiam. Gadis itu dengan dahi mengkerut dan wajah yang geram tetapi takut itu pun turut terdiam. Sambil mencoba menarik napas lega, gadis itu bertanya setengah teriak, “Siapa kamu?! Apa maumu?! Kemana mang Udin?!”

Mendapat tubian pertanyaan yang dengan teriakan itu, pemuda itu tetap tenang. Lalu sambil berkata tenang, ia mulai menatap wajah gadis itu, “Sttt… Tak perlu berteriak, aku bisa mendengar suaramu dengan jelas… Tenanglah…”

“Ta.. Tapi, siapa kamu?!”, tanya gadis itu kembali.

“Aku adalah cinta…”, jawab lelaki itu masih dengan tenang.

“Cinta?”, dahi gasis itu semakin mengerut.

“Dhillah…”, lirih pemuda itu menyebutkan sebuah nama.

Gadis itu terkejut setengah mati mendengar sebuah nama itu. Wajahnya yang telah memerah sejak tadi semakin memerah. Matanya yang semula menggambarkan amarah dan ketakutan kini berubah menjadi berkaca-kaca. Dalam hidupnya hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilanya dengan sebutan itu, Dhillah.

“Kha.. Khaje…?”, tanya lirih gadis itu seakan tak percaya.

“Ya, ini aku, Dhillah…”, jawab pemuda itu sembari mencoba memeluk tubuh gadis itu yang tak segera dibalas, namun gadis itu diam saja tak percaya pada apa yang dialaminya saat itu. “Dhillah…”, lirih pemuda itu lagi tepat di sisi telinga wanita itu.

“Kha.. Khaje…!”, gadis itu kini membalas pelukan lelaki itu dengan pelukan yang sangat erat. Namun pelukan itu tidak berlangsung lama, tiba-tiba gadis itu melepaskan pelukannya, “Ti.. Tidak! Tidak!”, teriaknya kembali sembari berusaha membuka pintu mobilnya sambil berlari cepat menjauh.

“Dhillah! Dhillah! Tunggu!”, kini lelaki itu turut berteriak memanggil Dhillah sambil berusaha menyusul lari gadis itu.

Belum terlalu jauh dari area taman kota itu, Khaje telah berhasil menggapai tubuh Dhillah.

“Dhillah! Dhillah! Jangan pergi…” lirih Khaje sesaat setelah berhasil merengkuh tubuh Dhillah dan memeluknya erat. Dhillah tidak berkata-kata untuk sesaat, yang terdengar hanyalah tangisan derasnya. “Dhillah…”, lirih Khaje kembali.

“Ti.. Tidak mungkin! Tidak mungkin!” teriak Dhillah dalam isakannya.

“Maafkan aku, Dhillah…”, lirih Khaje menjawab teriakan Dhillah sambil melepas pelukannya dan menatap dalam wajah Dhillah.

“Kemana saja kamu selama ini?! Kamu pergi begitu saja! Tidak ada kabar, tidak ada surat! Bahkan… bahkan aku mengira kamu sudah mati… Dan kini… begitu saja kamu datang kembali… Kamu pikir semudah itu kamu dapat mempermainkan aku?!”, dalam tangisannya Dhillah terus berkata-kata, “Cinta itu sudah hilang bersama kepergianmu! Sekarang aku… aku… aku sudah tidak mencintaimu lagi! Sebaiknya kamu pergi saja sekarang! Pergi dari hidupku dan tidak usah menggangguku lagi! Apa sebenarnya yang kau mau dariku?! Aku mohon jangan ganggu hidupku…”

“Sttt… Dhillah… Sejak dulu kamu tak pantas dan tak pernah pantas untuk marah… Kamu terlalu anggun dan baik untuk itu… Kebencianmu hanya sesaat… Dan aku tahu, amarahmu akan segera reda… Segera reda… Sesaat setelah kemarahanmu… Dan kamu akan kembali seperti semula…”, lirih Khaje yang disertai dengan terdiamnya Dhillah. “Aku sayang kamu… Aku cinta kamu, Dhilah.. Maafkan aku…”, ucap Khaje sembari memeluk tubuh Dhillah. Tak seperti sebelumnya, kali ini Dhillah langsung membalas pelukan Khaje, lebih erat dari sebelumnya.

“Aku juga cinta kamu…”, lirih Dhillah.

Keajaiban dari sesuatu yang ada dalam diri sepasang anak manusia terpancar malam itu ditengah kota Bogor. Sampai larut mereka membayar rindu yang tertunda selama bertahun-tahun. Tak banyak kata yang terucap dari mereka malam itu. Sejuk udara kota Bogor cukup menjadi pencerita tentang rindu sepasang hati.

* * *

“Khaje, maaf aku tak bisa mengatakan ini semua langsung kepadamu… Bacalah surat ini..”, lirih Dhillah dengan mata yang berkaca-kaca, lalu pergi meninggalkan Khaje.

“Dhillah! Dhillah!”, teriak Khaje memanggil Dhillah. Dhillah terus melaju dan melaju. Tak menoleh sedikitpun. Hingga hilang tertelan jarak. “Dhillah… Ada apa ini?”, galau Khaje dalam berdirinya menatap jejak langkah Dhillah.

Dengan resah ia membuka surat itu dan membacanya…

Masa kanak-kanak itu kini sudah tiada lagi. Kita telah sama-sama dewasa! 8 tahun rupanya bukanlah waktu yang sebentar. Ia telah berhasil merubah segala yang kita lihat. Rumput-rumput itu kini sudah menjadi aspal. Pagar bambu yang dulu mudah kita rusak kini sudah menjadi tugu beton kokoh yang angkuh. Segalanya sudah berubah sekarang, dan semuanya tak bisa kembali lagi, termasuk masa kanak-kanak kita dahulu. Angin sepoi-sepoi yang dulu berhembus kini sudah menjadi badai. Dan jika cinta tak mampu menghentikan badai itu, lebih baik kita yang berganti arah.

Dhillah

Seakan remuk hati Khaje membaca itu semua. Seorang Dhillah tidak mungkin seperti ini, hal itu yang pertama terbesit di hati Khaje. Dalam kesendiriannya ditengah rumput luas yang tanpa Dhillah, Khaje berucap lirih, “Tuhan, jika memang benar masa kanak-kanak itu tak bisa kembali… Paling tidak izinkanlah cinta itu kembali… Dan jika cinta tak mampu menghentikan badai… Izinkan cinta itu turut mati bersama badai itu, hingga aku takkan menemukan cinta itu lagi… Tapi, aku yakin, cinta mampu menghadapi segalanya… Ya, walaupun harus mati didalamnya… Tuhan…”. Khaje lalu meremas secarik kertas yang tadi dibacanya, lalu dengan senyum yang entah menyiratkan apa ia melangkah menyusul langkah Dhillah yang entah telah sampai mana… (Khajeya)

Jey, Rheina, dan Ibu Kos

Jey, Rheina, dan Ibu Kos

“Tok Tok Tok!” suara pintu diketuk terdengar nyaring sekali hingga membangunkan Jeje dari tidurnya. Sesaat Jeje membuka matanya, lalu sambil menutup telinganya dengan guling, Jeje kembali memejamkan matanya.

“Tok Tok Tok!!!” kali ini ketukan pintu terdengar lebih keras dengan frekuensi yang lebih cepat. Jeje yang belum sempat kembali terlelap kontan saja tersentak kaget.

“Siapa sih?!” teriak Jeje dari balik selimutnya. “Pagi-pagi udah ngeganggu!”

“Pagi gundulmu!” jawaban dari balik pintu sana tak kalah lantangnya, “Ini sudah siang, tahu!” Jeje hampir saja terjatuh dari kasurnya karena terkejut mendengar suara itu. Ia hafal benar pada suara Ibu Kos yang galak luar biasa. Segera Jeje bangkit sambil mengusap-usap mata dan merapikan rambutnya, lalu dibukanya pintu kamarnya.

“Eh, Ibu… Maaf, Bu, saya kira…”

“Maaf, maaf!” Ibu Kos yang tengah berdiri tepat di depan pintu kamar kos Jeje langsung memotong omongan Jeje. “Yang saya butuhkan bukan maaf, tapi uang… Mana uang sewa kamu?! Ini sudah lewat 1 minggu, tahu!”

“Eh, uh… Itu, anu, Bu…” ucap Jeje terbata-bata.

“Anu, anu… Anu apa hah?!” sang Ibu Kos kembali memotong dengan garang. “Pokoknya saya tidak mau mendengar alasan apapun lagi!”

“Tapi, Bu... Ini bukan alasan, tapi kenyataan… Orang tua saya belum juga mengirimkan uang…”

“Alasan klise! Pokoknya kamu harus bayar sekarang juga!”

“Tapi, Bu… Saya harus bayar pakai apa…?” ucap Jeje lemas.

“Ya, pakai uang!” tegas Ibu Kos kembali.

“Bu, tolong, Bu… Beri saya waktu 2 sampai 3 hari lagi, saya pasti akan bayar…”

“Alah! Saya sudah tidak punya waktu lagi! Setiap bulan kamu selalu telat bayar. Saya sudah bosan dengan berbagai alasan kamu! Pokoknya hari ini juga kamu harus bayar. Nanti sore saya akan ke sini lagi, dan pokoknya uang itu harus sudah ada, atau silakan kamu cari tempat kos lain, masih banyak kok yang mau kos di sini!” ucap Ibu Kos panjang dengan sinis.

“Ta.. Tapi Bu…” belum sempat Jeje melanjutkan kata-katanya, Ibu Kos sudah menghilang terhalang tembok. Jeje hanya dapat mematung dan lemas. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Hei… Sudah siang begini baru bangun…” tiba-tiba Jeje dikejutkan oleh kehadiran Rheina, teman sekampusnya yang telah berada tepat di hadapannya. “Sudah begitu, bukannya langsung mandi, eh malah bengong lagi di depan pintu…” lanjut Rheina menggoda.

“Eh, Rhein…” sapa Jeje singkat.

“Kenapa sih loe, lemes banget? Pasti barusan habis dimarahin sama Ibu Kos, ya? Hihihi…”

“Loe… Loe kok tahu?” kening Jeje seketika mengkerut.

“Nggak kok, cuma nebak aja. Tadi gue lihat muka Ibu Kos loe acak-acakan pas keluar dari rumah ini, eh, ternyata loe juga nggak kalah acak-acakannya… Hihihi…” Rheina terus menggoda Jeje. Jeje hanya tersenyum. “Sudah… Sekarang loe mandi dulu sana, sebentar lagi ada kuliah lho…”

“Aduh, Rhein… Kayaknya gue nggak akan masuk deh hari ini, nggak enak badan nih…”

“Nggak usah pake alasan segala. Cepat mandi sana dan kuliah… Lihat nih apa yang gue bawa buat loe…” ucap Rheina sambil mengeluarkan sebuah nasi bungkus dari kantong plastik hitam yang tengah dipegangnya. “Taraaaa… Sarapan buat loe… Tapi loe harus mandi dulu sebelum menikmati oleh-oleh gue ini...”

“Wah, thanks deh Rhein, tapi serius gue lagi nggak enak badan nih.”

“Hah?! Serius loe? Yang mana yang sakit, badan loe atau jiwa loe?” tanya Rheina bercanda.

“Ya badan lah…!” jawab Jeje sewot.

“Deuh… Segitu sewotnya. Lagian tumben banget pake acara nolak rezeki segala… Ya udah deh, oke, loe nggak usah mandi dulu, tapi ini dimakan ya…” Rheina mencoba membujuk Jeje.

“Aduh, Rhein… Gue belum lapar nih, masih kenyang…”

“Kenyang? Kenyang makan apa loe? Kenyang dimarahin Ibu Kos? Hihihi….” lagi-lagi Rheina berkelakar. Kali ini Jeje tersenyum juga dibuatnya. Sahabatnya yang satu ini memang paling pandai menghibur hati Jeje.

“Ya, udah deh. Mana? Sini makanannya…”

“Ups, tahan dulu, enak aja mau langsung makan… Nggak mandi ya nggak apa-apa, tapi minimal gosok gigi dulu dong, bau tahu… Dasar jorok!”

“Oke deh tuan putri, oke…” Jeje akhirnya pergi juga ke kamar mandi sekedar untuk mencuci muka dan gosok gigi.

Di kamar mandi Jeje hanya memandangi wajahnya yang terpantul di cermin. Rambut gondrong yang tak begitu terurus itu ia acak-acak. Sesaat Jeje menarik napas panjang. Ia kembali teringat pada ultimatum Ibu Kos tadi.

“God… What i have to do?” lirihnya dalam hati. “Bantu aku, Tuhan. Jangan sampai aku terusir dari sini. Kau kan tahu aku bukannya tak mau membayar, tapi aku tak mampu… Tuhan, betapapun galaknya Ibu Kosku, tapi aku masih betah di sini. Kau tahu, Tuhan, jika biaya sewa di sini paling murah dibanding tempat-tempat lain di sekitar sini. Dan Kau pun pasti mengerti, Tuhan, jika untuk biaya sewa termurah saja masih sulit ku bayar, apalagi yang mahal… Please, Tuhan… Izinkan aku tetap tinggal di sini…”

“Wooiii!!! Lagi ritual loe di kamar mandi? Lama banget sih…” tiba-tiba suara Rheina membuat Jeje tersadar dari renungnya. Tapi bersamaan dengan itu pula wajah Jeje berubah menjadi lebih cerah.

“Thanks, God… Aku sudah menemukan solusinya… Walaupun itu bukan solusi yang terbaik, tapi paling tidak bisa menyelamatkanku hari ini…” lirih Jeje dalam hati sambil keluar dari kamar mandi. “Rheina!!!” teriak Jeje sesaat setelah menutup pintu kamar mandinya, lalu bergegas lari menemui Rheina.

“Apaan sih?” tanya Rheina yang merasa dipanggil.

“Gue akan lakukan apapun buat loe dan akan menganggap loe saudara gue asal loe mau bantu permasalahan gue yang satu ini…” ucap Jeje dengan bersemangat tepat di hadapan Rheina.

“Kenapa loe? Keluar dari kamar mandi kok malah makin parah...”

“Gue serius, Rhein” lanjut Jeje tak mempedulikan pertanyaan Rheina. “Gue minta tolong banget sama loe, cuma loe satu-satunya harapan gue saat ini.”

“Kenapa sih loe? Sentimentil banget… Mau pinjam duit ya?”

“Hah?! Rhein… Loe… Loe bisa baca pikiran gue… Loe emang benar-benar seorang peri, Rhein…!”

“Udah… Nggak usah pake rayu-rayu segala… Ini 2 ribu, nggak usah pinjam, ambil saja…”

“What?! 2 ribu, Rhein? Cuma 2 ribu?” ucap Jeje menganga.

“Iya, emangnya mau berapa? Cukup khan buat beli odol… Lain kali nggak usah pake teriak-teriak gitu lagi ya, bau tau!”

Astaga… Jeje lupa jika ia belum gosok gigi. [Khajeya]

Perawan

“Jey, loe harus tahu yang satu ini…” ucap Shanna pelan. “Gue udah nggak perawan lagi…”

“Ah, masa…” ucap Jey ringan sambil terus menikmati rokok kretek murahannya. “Loe becanda khan?”

“Nggak, Jey. Nggak. Gue serius. Gue udah nggak virgin lagi. Gue… Gue udah pernah berhubungan seks…” ucap Shanna sedikit terbata.

“What?!” Jey tersentak mendengar ungkapan Shanna yang begitu serius. “Loe.. Loe udah nggak virgin lagi?!” Shanna hanya mengangguk kali ini. “Shit! Jokes apa lagi ini?! Please, Shan, gue nggak suka jokes semacam ini!” ucap Jey geram.

“Ma... Maafin gue, Jey… Tapi, gue bener-bener serius. Gue nggak mau terus-menerus menyembunyikan semua ini. Gue tahu loe pasti kaget dan kecewa…”

“Ah!” tiba-tiba Jey memotong omongan Shanna sambil mengibaskan tangannya. “Sudahlah! Gue udah bilang kalo gue nggak suka jokes semacam itu. Loe udah ngerusak malam minggu kita, Shan!”

“Gue tahu loe pasti kecewa berat, Jey… Gue… Gue akan terima apapun konsekwensinya…”

“Cukup! Hentikan semua omong kosong ini!” Jey kembali memotong. “Loe sakit, Shan!” lanjut Jey sinis. “Gue akan pulang sekarang, dan jangan temui gue sebelum otak loe normal!” Jey lalu membalikan badannya dan melangkah pergi. Shanna hanya dapat terdiam saat itu, ia tak kuasa menahan Jey. Perlahan air mata membanjiri pipi Shanna, dan dalam waktu singkat Shanna sudah terisak-isak.

“Shit…” lirih Jey pelan sambil menghentikan langkahnya ketika mendengar isakan Shanna. Jey pun kembali menghampiri Shanna. Setelah sesaat mengambil napas panjang, Jey kembali berkata, “Oke… Oke… Gue akan menganggap omongan loe tadi serius… So, sejak kapan loe udah nggak virgin lagi dan sama siapa loe melepas keperawanan loe?”

Shanna yang mendengar pertanyaan Jey menjadi semakin terisak. Perlahan Shanna mencoba mengangkat wajahnya untuk menatap Jey, namun kemudian kembali tertunduk setelah melihat mata Jey yang menatapnya tajam.

“Ti… Tiga tahun lalu…” jawab Shanna terbata. “Se.. Semua gosip yang selama ini beredar adalah benar…”

Seakan remuk batin Jey mendengar itu semua. Akhirnya terjawab sudah gosip yang selama ini beredar. Jey kini hanya mematung. Ia tak tahu apa lagi yang harus dilakukan. “Shanna…” hanya lirih itu yang keluar dari lisan Jey.

“Maafin gue, Jey…” lirih Shanna masih menundukkan wajahnya.

Jey menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Diraihnya dagu Shanna untuk membuat Shanna kembali mengangkat wajahnya. Kini dapat dilihat jelas mata Shanna yang berlinang air mata.

“It’s okay, Shan…” ucap Jey pelan. “Gue tahu di zaman yang serba gaul ini sangat sulit untuk mempertahankan sebuah keperawanan…” lanjutnya lagi. “Tapi… Tapi, ini bukan hal yang mudah bagi gue, Shan… Maafin gue…” Jey membelai lembut rambut Shanna lalu pergi meninggalkan Shanna seorang diri.

* * *

“Brakkk!!!” Jey membanting pintu kamarnya, kemudian menjatuhkan diri ke kasur bututnya. Ia tampak begitu resah dan kecewa. Baginya, sangat sulit menghadapi kenyataan seperti itu.

“Brakkk!!!” kini rak buku yang ada di satu sudut kamar Jey menjadi berantakan seketika setelah dilempari bantal guling. Jey seperti orang yang kehilangan kendali malam itu.

Sambil menatap langit-langit kamar, mata Jey tampak berkaca-kaca. “Gue udah nggak virgin lagi… Gue udah nggak virgin lagi… Gue udah nggak virgin lagi…” kalimat itu serasa terus bergema di telinga Jey. Jey benar-benar shock mendengar pengakuan Shanna itu. Sebuah jawaban yang sama sekali tak pernah terlintas di batin Jey untuk ditanyakan. Selama ini memang Jey tak pernah menghiraukan gosip yang beredar jika Shanna sudah tidak virgin lagi, terlebih dengan sikap Shanna yang tidak pernah peduli terhadap gosip itu. Namun, ternyata itu semua adalah benar. Dan itu keluar dari mulut Shanna sendiri!

* * *

Sudah 3 hari ini Jey tidak menghubungi Shanna. Demikian juga Shanna, setiap kali bertemu Jey di kampus, ia hanya terdiam kaku. Shanna tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya pasrah menghadapi sikap Jey terhadapnya, sebuah konsekwensi yang mau tidak mau harus ia terima.

“Hei, Shan…” tiba-tiba Jey menegur Shanna yang sedang termenung sendiri di pelataran kampus. Dengan senyum tersembul, Jey melanjutkan, “Nanti malam kita nonton yuk, ada film baru lho…”

Shanna tak percaya pada apa yang didengar dan dilihatnya. Seorang Jey tengah duduk disisinya dan seakan tak pernah terjadi apa-apa diantara mereka, Jey mengajaknya kencan!

“Jey?” lirih Shanna sambil mengerutkan dahinya.

“Gimana? Mau nggak? Gue yang traktir deh.” Ucap Jey lagi membuat Shanna semakin menganga.

“Tapi... Tapi Jey…” lisan Shanna terbata.

“Tapi? Tapi kenapa?” Jey bertanya.

“Gue nggak sedang bermimpi khan?” Shanna balik bertanya. Jey terus tersenyum.

“Shanna sayang…” ucap Jey, “Maafin sikap gue ya selama beberapa hari ini… Juga maafin atas sikap gue malam itu…”

“Maaf?”

“Ya, maaf.” Ucap Jey lagi. “Terus terang gue shock berat mendengar kejujuran loe saat itu, tapi sekarang gue sadar, sikap gue itu salah…”

“Loe nggak sedang bercanda khan, Jey?” potong Shanna sambil tetap mengerutkan dahinya.

“Sama sekali nggak” jawab Jey meyakinkan. “Sudahlah, lupakan semua masa lalu loe, loe yang dulu sudah nggak ada lagi… Dan yang ada sekarang adalah kita… Loe masih mau khan jadi pacar gue?” Masih dengan dahi mengkerut, Shanna terus menatap dalam mata Jey. “Shanna…?” ucap Jey menunggu jawaban. Shanna seketika tersenyum, lalu mengangguk pelan. Jey tersenyum puas melihat anggukan Shanna. Diraihnya tangan Shanna, lalu sambil mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya, Jey berucap, “Oya, Shan. Ini gue punya puisi buat loe… Baca deh…”

Shanna menerima kertas itu, lalu dibacanya….

Ada cinta yang kubenci, ada benci yang kucinta

Ada sebuah kejujuran yang menyakitkan, ada kebohongan yang membahagiakan

Dan seorang wanita bernama Shanna telah terlanjur untuk kucinta

Namun kemarin malam ia berkata-kata, kata-kata yang membuatku kecewa

Shit! Luka yang diberikannya telah menghalangi pandanganku pada masa lalu

Masa lalu yang indah, ketika ia dan aku melupakan semua

Shit! Kejujuran itu terlalu menyakitkanku

Kenapa? Kenapa ia setega itu?

Lalu dengan geram kuhempaskan ia

Aku terpukul oleh kenyataan!

Dan kutahu ia pun tersisihkan…

Lalu tadi malam ku tertidur tanpa ia dalam mimpiku

Adakah ku telah sebegitu dalam membencinya?

Hingga dalam mimpi pun ia tetap ku hempas?

Shit! Shit! Shit!

Tadi pagi ku tak lagi dapat menikmati kopi panasku

Gelasnya pecah ku hancurkan

Dan aku lelah merapikan rak buku yang kurusakkan!

Dan aku sesak oleh asap rokok yang terlalu banyak kuhisap!

Dan kini ku terlagi sulit tertidur

Foto Shanna di satu sisi hatiku sejak semula tak pernah berpindah

Kuterpandangi padanya

Shit! Foto itu tak turut hancur bersama remuknya hati

Dan aku terus dipaksa untuk menatapnya

Ada apa ini?

Oh, God…

Aku masih mencintainya…!

Dan sebuah bisik cinta mengalir lembut ditelinga ini

Menceritakan tentang segala masa lalu

Dan mengingatkanku pada cintaku sendiri

“Aku sudah tidak perawan lagi…”

Gema itu kini terasa lembut…

Aku menjadi begitu menghargainya

Dan aku tersadar jika aku sedang diselimuti cinta, bukan lagi oleh hawa

Shanna…! Shanna…!

Aku cinta kamu…

Mata Shanna berkaca-kaca membaca puisi itu. Lalu tanpa melipat kertas itu lebih dulu, ia meraih tubuh Jey lalu memeluknya. “Thanks… Jey” ucapnya lirih.

“Hei… Back to topic, jadi loe mau khan nanti malam gue traktir nonton?” Jey mencoba melepaskan suasana sentimentil itu.

“Iya…” angguk Shanna.

“Filmnya mulai jam delapan empat lima, jam delapan gue jemput loe ya… Oya, tapi makan malamnya loe yang traktir ya…”

“What?!”

(Khajeya)

Thursday, June 30, 2005

Dompet Jatuh

“Jey, itu dompet siapa, Jey?”, tanya Opik setelah melihat sebuah dompet tebal tergeletak di pinggir jalan sepulang dari kampus.

“Wah, kayaknya dompet yang jatuh deh”, jawab Ajey cuek, berbarengan dengan diambilnya dompet itu oleh Opik.

“Wah, gila, Jey, isinya banyak banget…”, ucap Opik takjub.

“Emangnya berapa?”, tanya Ajey.

“Mungkin dua jutaan lebih, Jey”, jawab Opik.

“Gila, banyak banget”, ucap Ajey.

“Eh, Jey, ada fotonya” uacap Opik sambil terus memeriksa isi dompet.

“Eh, gila, cantik banget. Wah, Pik, kayaknya kita harus balikin dompet ini deh.”, uacp Ajey.

“Tapi, Jey…”

“Udah, uang bisa di cari, tapi kenalan sama cewek secanti ini… kapan lagi?”

“Oke deh, Jey. Tapi kemana kita harus balikin dompet ini?”, bingung Opik.

“Ya, loe lihatlah didalamnya, ada KTP atau kartu namanya nggak?”

Tanpa menjawab, Opik langsung memeriksa kembali dompet itu. Didalammnya tampak ada beberapa kartu ATM dan kartu kredit, serta sebuah KTP dan kartu nama atas nama Santi.
“Yap, ada Jey. Nama cewek itu Santi. Ini kartu namanya. Kapan kita mau balikin dompet ini?” ucap Opik.

“Wah, kalau sekarang udah kesorean, gimana kalau besok saja?”, saran Ajey di jawab dengan anggukan Opik tanda setuju.

***

Pada waktu yang disepakati, Ajey dan Opikpun tampak tengah bersiap berangkat untuk mengembalikan dompet yang ditemukannya kemarin ke alamat yang tertera di KTP yang ada didalam dompet itu. Dengan sandal jepit, kaos oblong, dan celana jeans, mereka menaiki angkot menuju alamat yang di maksud.

“Kayaknya ini deh Jey rumahnya”, yakin Opik sambil menyesuaikan alamat yang ada dalam dompet pada nomor rumah yang terpampang besar disebuah pintu pagar menjulang tinggi dan besar.

“Gila, ini rumah atau istana, gede banget. Coba deh cek lagi alamatnya, udah benar atau belum?”, saran Ajey.

“Iya, benar yang ini rumahnya Jey”, ucap Opik. Tiba-tiba seorang satpam menghampiri mereka dari dalam pagar itu.

“Maaf, mas, dari tadi saya melihat mas-mas ini didepan pagar, ada apa ya mas?” tegur satpam itu.

“Eh, begini pak, kami mau ketemu sama Santi. Santinya ada tidak ya pak?”, celetuk Ajey spontan menjawab pertanyaan satpam itu.

“Oh, non Santi. Memangnya mas-mas ini siapa?” tanya stpam itu lagi.

“Kami temannya, pak”, jawab Ajey lagi. Tampak kening satpam itu mengkerut tanda heran atau mungkin tidak percaya. Matanya tampak menatap curiga melihat penampilan Ajey dan Opik.

“Lho, kenapa pak?” tanya Opik merasa kesal diperlakukan seperti itu.

“Maaf, mas. Apa benar mas-mas ini temannya non Santi?” tanya satpam itu lagi. Opikpun langsung mengeluarkan kartu nama atas nama santi dan menunjukkannya pada satpam itu.

“Ini buktinya, pak.”, ucap Opik.
Sesaat setelah satpam itu memeriksa kartu nama itu, kembali satpam itu bertanya, “Dapat dari mana mas kartu nama non Santi ini?”

“Dengan kesal Ajey menjawab, “Ya dari Santilah, memangnya dari siapa lagi? Sekarang, Santinya ada atau tidak sih?!”

“Baiklah, tapi tunggu dulu disini sebentar, saya hubungi non Santi dulu. Oya, nama mas-mas ini siapa ya?” tanya satpam itu.

“Ajey dan Opik”, jawab Ajey.

“Baiklah, sebentar ya mas.” ucap Satpam itu sambil kembali masuk ke balik pagar besi, lalu tampak satpam itu menelepon dari dalam pos satpam didekat pagar.

“Halo, non, ada dua orang yang mengaku temen non, mau bertemu sama non.” Ucap satpam itu.

“Siapa, pak?”, tanya dari ujung telepon sana.

“Mereka mengaku bernama Ajey dan Opik, Non.”, jawab satpam.

“Ajey? Opik? Siapa mereka?”, tanya santi lagi.

“Tidak tahu, non. Semula saya tidak percaya, tapi mereka punya kartu nama non. Katanya dapat dari non Santi.”

“Ya sudah, pak. Suruh saja mereka masuk, saya tunggu didalam.”

“Baik, Non.” Patuh satpam itu sambil menutup telpon dan kembali menghampiri Ajey dan Opik.

“Ya, silakan masuk mas, kata non santi,non santinya menunggu didalam”.

“Terimakasih, pak”, ucap Ajey sembari menegakkan badannya, dan bergegas masuk kedalam. Namun, tiba-tiba satpam itu menghentikan langkah Ajey dan Opik.

“Maaf, mas. Bisa saya periksa mas-mas dulu. Silakan menempel ke tembok”, ucap satpam itu.
Sesaat Ajey dan Opik saling berpandangan tanda heran. Namun, karena enggan berkomentar, mereka menuruti saja permintaan satpam itu. Badan mereka merapat ke tembok, kaki agak melebar, tangan keatas, lalu satpam itu mulai memeriksa badan Ajey dan Opik, ya kayak di film-film lah.

“Baik, mas, bersih. Maklum ya mas, sekarang kan lagi banyak kasus bom, jadi harus hati-hati…”

“Oh, tidak apa-apa kok pak”, ucap Opik.
Akhirnya Ajey dan Opikpun berhasil melewati pagar besi tinggi besar itu. Sambil menunggu Santi keluar, mereka duduk-duduk diteras depan.

“Gila, Jey… Gede banget rumahnya, tamannya juga luas dan indah banget”, takjub Opik.

“Iya, gila, pasti Santi itu anaknya orang kaya, kata gua juga apa? Nggak sia-sia kita mengembalikan dompet ini.” Ucap Ajey.

“Iya, Jey. Sudah cantik, kaya lagi. Siapa tahu jodoh kita ya…”

“Iya, Pik”

“Ehm..., maaf, anda berdua yang kata satpam tadi mau bertemu saya?” ucap seorang wanita yang tiba-tiba keluar dari pintu rumah dan memotong pembicaraan Ajey dan Opik.

“Eh, uh, iya mbak.”, jawab Opik.

“Anda-anda siapa ya?”

“Eh, kenalkan, nama saya Opik”, ucap Opik sambil menjulurkan tangannya, disusul oleh Ajey.

“Ada perlu apa ya?”, tanya Santi lagi.

“Ini, mbak, kami mau mengembalikan dompet mbak yang kami temukan di jalan.”

“Dompet?”, ucap Santi sambil mengernyitkan dahinya.

“Iya, dompet. Apa ini betul dompet mbak?”, tanya Opik lagi sambil menjulurkan dompet itu ke arah Santi.

Setelah sesaat memeriksa dompet itu, santipun berkata, “ya, ini memang dompet saya, kemarin dompet ini hilang.”

“Diperiksa dulu mbak isinya, takut ada yang hilang”, ucap Ajey.

“Ah, tidak usah”, jawab santi sambil mengeluarkan 4 lembar seratus ribuan dari dalam dompet itu dan memberikannya pada Ajey dan Opik. “Ini uang untuk balas jasanya”

“Lho, apa maksudnya ini mbak?”, heran Ajey.

“Iya mbak, tidak usah, kami ikhlas kok”, tambah Opik.

“Sudahlah, terima saja uang ini, saya tidak ingin merasa berhiutang budi”

“Nggak kok mbak, nggak apa-apa, kami benar-benar ikhlas kok”, uycap Opik lagi.

“Oh, atau kurang? Kalau begitu ini saya tambah lagi”, u\cap Santi sambil mengluarkan beberapa lemnbar seratus ribuan lagi.

“Lho, bukan itu maksud kami mbak.

“Sudahlah, tidak usah jual mahal. Kalau begitu silahkan mabil smeua uang di dalam dompet ini.” Ucap Santi lagi.

Ajey langsung tertegun mendengar hal itu. “Maaf, mbak. Kami benar-benar tidak mengharapkan imbalan jasa dari mbak, kami ikhlas, mbak.”

“Ah, mana mungkin dizaman sekarang ini masih ada orang yang ikhlas, terlebih lagi dengan kasus seperti ini.”

“Oh, masih ada, mbak. Ya kami inilah”, ucap Opik.

“Memangnya apa yang mas-mas ini mau sih? Diberi uang tidak mau? Diberi semua juga tidak mau?”

“Kami tidak mau apa-apa mbak, cukup bisa kenalan sama mbak saja kami sudah puas”, ungkap Opik.

“Oh, jadi mau kenalan sama saya. Kalau begitu, rasanya lebnih baik dompet ini tidak kembali lagi ke saya, daripada saya harus kenal sama orang-orang semacam situ. Silakan kalau dompet ini mau di bawa lagi, lengkap dengan semua isinya.”
Wajah Ajey dan Opik langsung memerah, merek jelas-jelas tersinggung dengan ungkapan kalimat seperti itu.

“Maaf, mbak. Mbak pikir semuanya bisa mbka beli dengan uang. Mbka pikir semuanya bisa mbak ukur dengan harta. Tidak, mbak! Tidak! Memang semula kami mengembalikan dompet ini agar dapat berkenalan dengan mbak. Tapi kami belum tahu siapa sebenarnya mbak. Andai saja kami sudah tahu sebelumnya siapa yang akan kami hadapi, tentu kami akan teramat enggan untuk mengembalikan dompet ini. Terimaksih mbak. Saya lebih baik pergi daripada harus mengenal orang semacam mbak!” Tegas Ajey sembari membalikkan badannya dan bergegas pergi.

“Eh, jey, mau kemana loe?”, heran Opik.

“Sudah, ayo kita pergi dari sini”, ucap Jey sambil menarik tangan Opik.

“Eh, uh, tapi Jey…”

“Sudah…!”

Ajey terus bergegas sambil tetap menaruk tangan opik. Sementara dengan santai santi kembali masuk ke dalam rumahnya, sambil berucap “Orang aneh!”